Solusi Degradasi Moral Bangsa, Belajar dari Alm Ustadz Harry Santosa

Dua pekan lalu, publik digemparkan dengan berita hubungan gelap yang melibatkan dua kakak beradik di Bekasi, Jawa Barat. Bahkan hubungan terlarang itu menjadikan sang kakak hamil, yang kemudian menggelapkan mata dan membunuh bayi yang baru dilahirkannya. Peristiwa ini tentu mengusik benak masyarakat, bagaimana mungkin saudara kandung bisa terlibat perzinahan?

Solusi Degradasi Moral Bangsa, Belajar dari Alm Ustadz Harry Santosa
Foto/Adhy_Syaef

Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sejak 1 Januari hingga Maret 2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah kasus terus meningkat hingga 3 Juni 2021 kemarin, tercatat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Fakta ini harusnya menyadarkan kita tentang kondisi moral bangsa yang sedang tidak baik-baik saja.

Degradasi moral yang terjadi dewasa ini, tidak serta merta datang tiba-tiba. Ada banyak faktor yang memicu munculnya permasalahan bangsa ini.

Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya ketahanan keluarga, yang diawali dengan minimnya keterlibatan orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anaknya. Betapa banyak kita temukan, orang tua yang pasrah bongkokan ke lembaga-lembaga pendidikan. Dengan membayar sejumah uang, orang tua berharap saat anak pulang, mereka telah menjadi anak yang solih. Padahal, baik sekolah maupun pesantren, hanya sebagai mitra dalam mendidik anak. Bukan penanggung jawab utama.

Permasalahan serius ini semakin runyam sejak pandemi Covid-19 melanda. Semua sekolah menerapkan sistem pembelajaran daring, dimana semua siswa belajar di rumah didampingi orang tua. Hal ini tentu menjadi balada tersendiri bagi orang tua. Kebiasaan menyerahkan pendidikan anak pada sekolah, menjadikan orang tua kelimpungan. Disatu sisi anak dituntut tetap belajar, tapi di sisi lain, orang tua habis akal bagaimana mengajari anak-anaknya. Tak ayal, tingkat stres pada orang tua yang meningkat, menjadikan mereka menyerahkan gawai pada anak agar mereka bisa mengerjakan sendiri, dan tentu saja tidak lagi rewel.

Masalah baru muncul, saat anak-anak semakin tergantung pada gadget. Tingkat kecanduan pada alat teknologi ini, menjadikan anak enggan beraktivitas dan bersosial. Mereka terjebak pada game-game online. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang terlarut dengan berbagai suguhan lintas usia dan gender di layar handphone. Dikarenakan intensitas menonton tayangan yang belum masanya, menjadikan anak-anak terdorong untuk mempraktekkan. Maka terjadilah kasus-kasus asusila di kalangan remaja dan anak-anak.

Adanya berbagai kasus kemerosotan moral di Indonesia, tentu tidak bisa kita abaikan. Perlu sebuah langkah nyata bersama untuk memperbaiki keadaan. Semua bisa dimulai dari lingkup kecil keluarga, salah satunya dengan menerapkan home education. Home education atau home based education atau pendidikan berbasis rumah, merupakan amanah dan kesejatian peran dari setiap orang tua yang tak tergantikan dan tidak bisa didelegasikan kepada siapapun.

Home education tidak serta merta memindahkan kurikulum sekolah ke rumah. Tidak pula menjejalkan berbagai hal kepada anak-anak. Namun, lebih pada bagaimana orang tua kembali mengambil peran pendidik yang pertama dan utama bagi putra-putrinya. Yakni membangkitkan dan menumbuhkan fitrah-fitrah dalam diri orang tua dan anak-anak, agar mencapai peran peradabannya dengan semulia-mulia akhlak.

Keluarga adalah miniatur peradaban. Peradaban akan gemilang, manakala keluarga memiliki pondasi yang kokoh. Sebaliknya, peradaban akan mengalami kehancuran, manakala keluarga porak poranda. Untuk membangun pondasi yang kokoh, setidaknya orang tua memahami dan berusaha menumbuh suburkan fitrah-fitrah yang telah di-instal Tuhan YME pada setiap manusia.

Dalam bukunya Harry Santosa, Fitrah Based Education, setidaknya ada empat fitrah pada diri manusia sejak dilahirkan.

1. Fitrah Keimanan


Fitrah keimanan yakni setiap bayi yang terlahir, telah mengambil persaksian akan keberadaan Allah SWT. sebagai Tuhan. Maka, setiap kita harusnya mengenal dan merindukan sosok Rabb atau Tuhan.

2.Fitrah Belajar


Fitrah ini menjadikan setiap anak manusia adalah pembelajar sejati. Situasi dan kondisi yang menjadikan mereka mengalami kemandegan dan hilang gairah belajar.

3. Fitrah Bakat


Fitrah bakat, setiap bayi yang lahir adalah unik. Mereka memiliki sifat bawaan yang berbeda satu sama lain, sekalipun itu saudara kembar identik. Sifat unik inilah yang kelak menjadi panggilan hidup dan peran spesifiknya di muka bumi.

4. Fitrah Perkembangan


Setiap manusia dari bayi sampai aqil baligh dan sesudahnya, memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus diikuti. Tidak berlaku kaidah lebih cepat, lebih baik.

Akhirnya, mari kembalikan kesejatian peran kita sebagai orang tua. Jadikan pandemi ini sebagai momen untuk kita menguatkan kembali pondasi keluarga, demi tercipta peradaban yang mulia.

Penulis
Oleh : Lilian Netya Al Mabruroh, S.Pd.I
Penulis adalah seorang Pemerhati Pendidikan Keluarga
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional, 29 Juni 2021
Didedikasikan untuk gurunda, Almarhum Ustadz Harry Santosa, Allahuyarham
Editor : IDMaspur
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.